Menghiasi jiwa dengan Husnudz Dzhon
Tatkala era globalisasi dan informasi melaju pesat
kehidupan manusia pun terasa semakin dekat. Peristiwa dan berita terdengar dan
disaksikan begitu cepat tanpa ada yang menghambat. Al hasil, dalam waktu yang
relatif singkat desas-desus dan berita burung menyebar dengan singkat. Ironinya
terkadang kabar tersebut tidak akurat sehingga meresahkan masyarakat. Dalam
hitungan detik kehormatan seorang muslim bisa ternoda hanya karena prasangka
yang tidak sesuai syari’at. Oleh karena itu hendaknya setiap muslim bertaqwa
kepada Alloh Ta’ala dan selalu mengecek kebenaran berita tersebut serta selalu
mendandani jiwanya dengan husnudz dzhon (berbaik sangka) khususnya kepada kaum
mukmin agar tidak terjatuh dalam lumpur kedzhaliman dan maksiat.
Tips-tips meraih jiwa husnudz
dzhon
- Membina Aqidah yang benar yang buahnya berupa husnudz dzhon kepada Alloh, RasulNya dan orang-orang beriman.
Husnudz dzhon kepada Alloh dan RasulNya merupakan
tuntutan tauhid sedangkan su’udz dzhon kepada Alloh dan RasulNya adalah bentuk
dari kekufuran. Sebagaimana juga husnudz
dzhon kepada kaum mukmin merupakan
cabang keimanan dan su’udz dzhon kepada mereka tanpa alasan yang benar
merupakan cabang kemunafikan. Dari Jabir
bin Abdillah t ia berkata: ‘Aku mendengar Rasululloh r bersabda tiga
hari sebelum meninggalnya:
لاَ
يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Janganlah
salah seorang kalian meninggal kecuali harus berbaik sangka kepada Alloh ‘Azza
wa jalla (HR. Muslim 2877).
- Membiasakan Adab-adab islami dalam menghukumi sesuatu permasalahan dengan mencari kejelasan suatu berita atau desas-desus. Beberapa metode yang bisa diterapkan dalam tasabbut atau tabayyun (mencari kejelasan suatu permasalahan) :
a. Mengembalikan permasalahan yang muncul kepada Alloh,
RosulNya dan para alim ‘ulama. Alloh Ta’ala berfirman:
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا
بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ
الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
Jika datang suatu berita dari keamanan atau ketakutan
mereka menyiarkannya. Sekiranya mereka menyerahkannya kepada Rosul dan Ulil
‘Amri diantara mereka maka tentulah orang-orang yang ingin mencari kebenaran
akan mendapatkan dari mereka (QS. An Nisaa’: 83). Berkata Al Imam Ibnu Katsir :’Ini adalah
pengingkaran terhadap orang yang terburu-buru memutuskan suatu permasalahan
sebelum mengeceknya terlebih dahulu dimana ia memberitahukan orang lain,
menyiarkan dan menyebarkannya padahal terkadang tidak sesuai dengan realita’. Lalu
beliau mendatangkan hadits Nabi :
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
Cukuplah seseorang dikatakan pendusta apabila ia
menceritakan semua yang ia dengar (HR. Muslim 5 ). Kisah yang memberikan teladan dalam masalah ini salah
satunya adalah kisah Al Wazir Abu Qosim bin Maslamah salah seorang menteri Bani
Abbas bersama seorang Yahudi di abad ke-5 Hijriyyah. Orang-orang Yahudi
menunjukkan sebuah kitab (tulisan) dari Nabi r dimana di dalamnya ada penghapusan tentang
Jizyah bagi Yahudi Khaibar. Di dalamnya ada persaksian beberapa sahabat. Al
Wazir tidaklah lekas memberikan keputusan sebelum mengecek kebenaran berita
tersebut. Maka ia menyerahkan kitab tersebut kepada Syaikhnya ulama Baghdad
yaitu Al Khatib Al Bagdadi (wafat 465 H). kemudian beliau menelitinya lalu
berkata:’ Ini bohong’. Al Wazir bertanya :’Apa alasannya kalau itu bohong?’.
Maka Al Khatib menjawab: ‘Karena di dalamnya ada persaksian Mu’awiyah bin Abi
Sufyan sementara ia belum masuk Islam pada Perang Khaibar sedangkan Khaibar
terjadi pada tahun ke-7 Hijriyyah dan Mu’awiyah masuk Islam pada Fathu Makkah.
Di dalam kitab itu juga ada persaksian Sa’d bin Mu’adz padahal beliau meninggal sebelum Khaibar
yaitu pada tahun terjadinya Perang Khondaq tahun ke-5 Hijriyyah’. Maka
orang-orang terkagum-kagum dan Al Wazir pun mengurungkan untuk menerapkan kitab
tersebut (Mu’jam Al Udaba’, Yakut Al Hamwa 4/18).
b.
Bertanya atau berdialog langsung dengan pelaku utama kisah atau suatu
berita. Hal ini sangat efektif untuk mengetahui benar tidaknya suatu kabar
sebagaimana dicontohkan oleh Nabi r tatkala Hatib bin Abi Balta’ah menulis surat kepada
penduduk Makkah yang isinya memberitahukan tentang rencana penyerangan Nabi ke
Makkah. Kemudian Alloh Ta’ala memberitahukan hal tersebut kepada NabiNya lalu
beliau menyuruh ‘Ali, Zubair dan Miqdad untuk merampas surat tersebut. Kemudian
Nabi r memanggil Hathib seraya bertanya:”Wahai
Hathib, surat apa ini ?”. Hathib menjawab: ‘Wahai Rasululloh, Janganlah
menghukumku karena sesungguhnya aku adalah orang yang asing dikalangan
Muhajirin (tidak punya sanak kerabat) sedangkan aku mempunyai anak dan saudara
di Makkah sehingga aku menulis surat tersebut agar bisa melindungi mereka. Aku
tidaklah melakukan hal tersebut karena murtad dari agamaku dan ridho dengan
kekafiran setelah aku memeluk Islam’. Maka Nabi r memberikannya udzur dan memaafkannya karena ia
termasuk orang yang ikut perang badar (Muslim 2494). Al Hafidz Abu Nu’aim
meriwayatkan dengan sanadnya dari Kholid bin Ma’dan bahwasanya ia berkata:
‘’Umar bin Khoththob menyerahkan mandat kekuasaan buat kami di Himsho kepada
Sa’id bin ‘Amir. Ketika ‘Umar berkunjung ke Himsho ia bertanya: ‘Wahai penduduk
Himsho bagaimana pemimpinmu ?’. Maka mereka mengeluhkannya sambil berkata:
‘Kami mengeluhkan empat hal: ‘Ia tidak keluar melayani kami kecuali jika sudah
siang’, Ia tidak meladeni seorangpun di waktu malam, Dalam satu bulan ada satu
hari yang ia tidak pernah keluar rumah dan Ia sering tidak sadarkan diri
diantara hari-hari itu’. ‘Umar t tetap husnudz zdhon dan
mengumpulkan antara mereka dengan Sa’id bin Amir seraya berdo’a: ‘Ya Alloh,
janganlah Engkau menjadikan aku keliru dalam memutuskan urusan ini’. Maka Sa’id
pun mengajukan alasannya : ‘Demi Alloh sebenarnya aku tidak suka
menyebutkannya, Keluargaku tidak mempunyai pembantu sehingga aku membantu
mengaduk tepung lalu aku duduk menunggu sampai menjadi ragi lalu aku membuat
roti kemudian aku wudhu dan menemui mereka. (Kedua) ‘Aku menjadikan siang untuk
mereka dan waktu malam untuk Alloh, (Ketiga) Aku tidak mempunyai pembantu yang
mencucikan pakaianku dan aku tidak punyai pakaian ganti yang lain sehingga aku
duduk menunggu sampai pakaian tersebut kering kemudian aku keluar menemui
mereka di akhir siang, (Keempat) Aku pernah menyaksikan Hubaib Al Anshory di
Makkah dimana dagingnya diiris-iris oleh Quraisy dan ia diikat di batang kurma.
Orang-orang Quraisy berkata:’Apakah engkau ingin jika Muhammad mengganti
tempatmu sekarang ?’. Ia menjawab: ‘Demi Alloh, aku tidak suka berada bersama
istri dan anakku sedangkan Muhammad ditusuk dengan duri’. Kemudian Sai’d
berteriak:’Wahai Muhammad senantiasa aku mengingat peristiwa hari itu dan aku
tidak menolongmu di waktu aku masih musyrik belum beriman kepada Alloh,
sehingga aku menganggap aku tidak akan diampuni karena dosaku itu. Itulah yang
membuatku sering pingsan tidak sadarkan diri. Maka ‘Umar berkata :’Segala puji
bagi Alloh yang menjadikan firasatku tidak meleset’ (Hilyatul Auliya’ 1/131).
c. Memperhatikan
dengan seksama tatkala diceritakan suatu berita dan bertanya jika ada suatu
permasalahan yang terasa belum jelas. Teladan dalam masalah ini adalah tatkala
Rasululloh r menyerahkan bendera perang kepada
‘Ali bin Abi Tholib t pada
perang Khaibar. Beliau berkata: ‘Pergilah berperang jangan menoleh sampai
Alloh memenangkanmu ‘. Kemudian ‘Ali beranjak sebentar
kemudian berhenti dan bertanya :’Wahai Rasululloh Atas dasar apa aku
memerangi orang-orang itu?’ Maka Nabi menjawab: ‘Perangilah sampai
mereka bersaksi bahwa tidak yang berhak diibadahi dengan benar selain Alloh dan
bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh…(HR. Muslim 2405). Sesuatu yang
belum jelas dipahami atau keliru dalam mendengar akan membawa kepada salah pengertian
yang berbuntut kepada su’udz dzhon.
d. Tidak terburu-buru memberikan penilaian
kepada seseorang sebelum mengenal hal ikhwal atau keadaan orang tersebut.
Adalah Sa’d bin Abi Waqqos tatkala terjadi fitnah kekuasaan ia justru sibuk
dengan kambingnya. Maka datanglah anaknya ‘Umar kemudian berkata:’Engkau sibuk
dengan unta dan kambingmu dan meninggalkan orang-orang yang meributkan masalah
kekuasaan ?!’ Maka Sa’d berkata: ‘Diamlah karena aku pernah mendengar
Rasululloh r bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ
الْخَفِى
Sesungguhnya Alloh mencintai seorang hamba yang
bertaqwa, kaya (hati) dan Al Khofi (sibuk dengan ibadah dan urusan pribadinya) (HR. Muslim 2965). Jika terhadap orang tua yang
merupakan manusia paling dekat dan sangat dikenal hal ikhwalnya masih perlu
bertanya kenapa ia melakukan hal seperti itu maka bagaimana lagi jika orang
tersebut tidak pernah dikenal ataupun belum jelas permasalahannya ?.
e. Menggabungkan keterangan dari beberapa
pihak sebelum memutuskan atau mengomentari suatu berita maupun permasalahan.
Metode ini pernah diajarkan oleh Nabi r kepada ‘Ali bin Abi Tholib ketika beliau
mengutusnya untuk Hakim di Yaman. Maka ‘Ali berkata: ‘Wahai Rasululloh, engkau
mengutusku sedangkan aku masih hijau dan tidak tahu menahu tentang kehakiman?’.
Maka Nabi r bersabda: ‘Sesungguhnya Alloh akan menunjuki
hatimu dan menguatkan lisanmu maka jika datang dua orang yang bersengketa
kepadamu maka janganlah memutuskan sampai kamu mendengar dari pihak yang kedua
sebagaimana kamu mendengar dari yang pertama karena itu akan
lebih tepat dalam memberikan keputusan (HR. Abu dawud 3582, tahqiq Syaikh Albani : ‘hadits hasan’).
f. Mengulangi pertanyaan kepada pelaku kisah
dalam rentang yang cukup lama untuk menguatkan kebenaran berita tersebut. Dari
‘Urwah t ia berkata: ‘Abdulloh ibnu ‘Umar
datang menunaikan haji dan aku mendengar ia berkata:’Aku mendengar Rasululloh r bersabda: “Sesungguhnya Alloh tidaklah
mencabut ilmu sekaligus namun Ia mencabutnya dengan matinya para ulama sehingga
tersisalah manusia yang bodoh, mereka diminta fatwa lalu mereka berfatwa tanpa
ilmu,, mereka sesat dan menyesatkan”. Maka aku memberitahukan ‘Aisyah
rodhiyallohu ‘anha. Kemudian pada tahun depannya Abdulloh bin ‘Umar kembali
berhaji maka ‘Aisyah berkata:’ Wahai keponakanku, pergilah ke Abdulloh bin
‘Umar dan mintalah penjelasan lagi tentang hadits
yang engkau beritahukan dahulu kepadaku’. Maka ‘Urwah mendatangi Abdulloh bin
‘Umar dan bertanya lagi hadits tentang ilmu kemudian dijawab oleh Abdulloh
seperti yang dahulu diceritakan lalu
disampaikan ke ‘Aisyah. Maka ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha kagum sambil berkata:
‘Demi Alloh Abdulloh ibnu ‘Umar adalah benar (tidak menambah dan mengurangi)’
(HR. Al Bukhori 6877).
- Berusaha memadamkan celah-celah munculnya fitnah dan menjelaskannya kepada yang lain. Sebagai contoh:
-
Jika anda sedang bersama mahrom atau istri anda sedangkan orang lain
belum mengenalnya maka hendaknya dijelaskan.
-
Jika anda telah sholat berjama'ah
di masjid daerah anda kemudian anda
pergi dengan suatu urusan dan singgah di masjid yang lain sedangkan
mereka sedang sholat maka sholatlah bersama mereka sebagai sholat sunnah bagi
anda dan untuk menghindari anggapan orang awwam bahwa anda tidak sholat
(Ihkamul Ahkam 2/57, Fathul Bari 4/280).
4.
Selalu bertaqwa dan muroqobah
(mawas diri) karena pada dasarnya harga diri dan kehormatan seorang muslim
sangat besar di sisi Alloh Ta’ala sehingga tidak semestinya untuk dilecehkan.
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Muslim itu adalah orang yang kaum muslim lainnya
selamat dari lisan dan tangannya (HR. Al Bukhori 10, Muslim 41). Alloh Ta’ala berfirman:
لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا
Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu, orang-orang
mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri (QS. An
Nuur: 12).
- Berusaha untuk menghindari lingkungan yang terbiasa su'dz dzhon dan membiasakan diri bergaul dengan orang-orang sholih.
- Selalu mengingat kesudahan yang buruk karena su'udz dzhon yaitu mendzholimi sesama muslim jika tidak sesuai dengan kenyataan dan semua itu akan dipertanggungjawabkan dihadapan Alloh kelak. Alloh Ta’ala berfirman:
وَقِفُوهُمْ إِنَّهُمْ مَسْئُولُونَ
Perintahkan mereka untuk berhenti karena mereka akan
ditanya (QS. As Shaffat: 24).
- Berusaha melawan dan menepis buruk sangka yang muncul dalam hati. Dari Abu Hurairoh t Rasululloh r bersabda:
إِنَّ اللَّهَ
عَزَّ وَجَلَّ تَجَاوَزَ لأُمَّتِى عَمَّا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ
أَوْ تَكَلَّمْ بِه
Sesungguhnya Alloh A'zza wa jalla
mengampuni untuk ummatku apa yang terbetik dalam hatinya selama ia tidak
mewujudkannya atau membicarakannya (Muslim 127). Ya, Alloh karuniailah kami akhlaq yang baik.
Wallohul musta’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar